Hate
Tira memarkir sepedanya di parkiran sekolah lalu bergegas masuk kelas. Ketika melihat Hiro yang buang sampah sembarangan, dia langsung menegur cowok itu.
”Sampahnya, dong, please dimasukin ke tong sampah!” Hiro nyengir lalu memungut sampah itu dan memasukkannya ke tong sampah. Tira memang dikenal sebagai pecinta lingkungan. Hobinya aja kreasi daur ulang dan ekskul yang diikutinya adalah berkebun.
“Tira, aku boleh nebeng kamu sampai jalan Sakura nggak pulang sekolah nanti?” Tanya Nad begitu Tira sudah duduk manis di bangkunya.
“Emang kamu mau naik sepeda?” Tira balik bertanya.
”Kenapa nggak?” Tira manggut-manggut. Agak sedikit heran dengan Nad yang mau nebeng naik sepeda karena dia sendiri sering diledek dan dibilang sok jadi pecinta lingkungan dengan naik sepeda. Apalagi cuma dia sendiri cewek di sekolah ini yang naik sepeda. Kalo cowoknya ada beberapa orang yang naik sepeda.
”Biar sehat” jawab Tira kalo ditanya kenapa naik sepeda.
”Aduh, Tira.. kamu pikir kita tinggal di Jepang atau Korea gitu? Di sana cuacanya nggak panas terik kayak di sini dan udaranya bersih karena orang-orangnya pada sadar sama kebersihan lingkungan. Tapi kalo di sini, ampun, deh! Selain bikin kulit hitam pekat, udaranya juga kotor. Bukannya sehat, yang ada juga jadi penyakitan...”
”Banyak omong doang juga nggak sehat! Mending langsung direalisasikan!” potong Tira sambil berlalu.
*
”Kayaknya aku perlu beli sepeda juga, nih!” ujar Nad.
”Buat apa?” tanya Tira sambil mengayuh sepeda mininya.
”Ya buat di pake ke sekolah”
”Entar kulitmu jadi hitam!” ledek Tira. Nad tertawa.
”Kan bisa pake sun block”
”Ribet amat” Nad kembali tertawa. Nad dan Tira sering dikatain bagai siang dan malam, bagai pinang dibelah kapak. Tira hitam pekat, rambut ikal sebahu dan agak pendek. Sedangkan Nad berkulit putih bersih, rambut lurus panjang dan tinggi langsing. Dalam hal kepintaran pun Nad jauh lebih unggul dari Tira. Akhirnya setelah sampai di tempat yang dituju, Nad pamit dan Tira melanjutkan perjalanan pulang. Kayuhan sepedanya sempat terhenti sebentar ketika sebuah sepeda motor melewatinya. Dia kenal betul sepeda motor itu dan pemiliknya. Arlon. Cowok yang ditaksirnya sejak dua tahun lalu. Tapi tak ada seorang pun di sekolahnya yang tau tentang hal tersebut. Cowok yang belakangan ini lagi mendekati teman sebangkunya, Nad.
*
”Arlon pulang bareng Nad lagi?” tanya U-na. Tira mengangguk lesu. Setelah kemarin Nad meminta boncengan dengannya, hari ini Nad terlihat boncengan dengan Arlon lagi.
”Gosipnya mereka udah jadian” ujar Tira pelan. Saat ini Tira dan U-na sedang berada di sebuah food court dekat bimbel U-na. Mereka janjian ketemuan setelah U-na selesai bimbel.
”Kan baru gosip” U-na berusaha menghibur.
”Ya tetap aja aku kalah”
”Sabar, ya , Ra!” Tira mengangguk lesu. Tira memang hanya bisa curhat pada U-na, sohibnya sejak SMP. Tapi SMA ini mereka pisah sekolah karena nilai U-na tidak cukup untuk masuk ke SMA favorit tempat Tira.
”Trus kamu sendiri gimana? Cowok yang kamu taksir di bimbel itu siapa namanya?” tanya Tira sambil menyeruput minumannya.
”Roki” jawab U-na.
”Dia udah punya cewek atau belum?”.
”Nggak tau! Aku aja nggak pernah ngobrol sama dia. Dan kayaknya dia juga nggak tertarik sama aku” jawab U-na sedih.
”Sabar ya, Na!” Tira menggenggam tangan U-na. ”Nasib kita kok sama ya?”
*
Tira kaget begitu tau Arlon jadi anggota baru ekskul berkebun. Mungkinkah Tuhan mengabulkan doanya selama ini agar dia bisa dekat dengan cowok itu? Entahlah! Yang pasti Tira senang karena setidaknya ada kesempatan untuk ngobrol dengan cowok itu.
”Tira, ya kalo nggak salah namanya?” Tira kaget sekaligus senang karena Arlon tau nama dan kelasnya ketika ekskul berkebun.
”Teman sebangku, Nad, kan?” Kesenangan Tira seketika lenyap. Ternyata Arlon mengenalnya karena dia teman sebangku Nad.
*
”Nebeng lagi, ya?” ujar Nad.
”Bukannya sama Arlon?” selidik Tira.
”Nggak, ah! Entar orang mikirnya kita pacaran lagi” ujar Nad santai.
”Bukannya emang iya?” Nad menggeleng. Kemudian dia tertawa.
”Gosip jangan didengerin!” Tira menghela nafas. Seenggaknya dia tau kalo Nad dan Arlon nggak pacaran.
*
Tanpa bisa dipungkiri, perasaan Tira makin dalam pada Arlon. Apalagi sejak intensitas pertemuan mereka semakin banyak dan sering ngobrol soal berkebun. Bagaimana jika aku menyatakan perasaan duluan? Hal seperti itu kan tidak tabu lagi sekarang. Dari pada memendam perasaan ini, rasanya sakit. Akh...
”Gimana, Na menurutmu?” Tira meminta saran U-na.
”Kalo kamu udah siap dengan resikonya, ya udah lakuin aja” Akhirnya Tira yakin untuk memantapkan hatinya.
*
”Ada apa?” Tira menghela nafas panjang. Memandang Arlon yang berdiri tepat di depannya. Jarak mereka tak sampai satu meter.
”Aku suka kamu” kata Tira tegas. Arlon yang mendengar itu menyerngit. Tira memandang Arlon datar tanpa ekspresi. Arlon jadi salah tingkah.
”Ngg.. aku terima kasih banget kamu udah suka sama aku tap...”
”Di tolak kan?” potong Tira cepat. Arlon jadi tambah bingung karena tiba-tiba ditembak seorang cewek. Sedangkan dia sendiri baru saja ditolak oleh Nad tadi ketika dia menyatakan perasaannya.
”Di tolak kan?” potong Tira cepat. Arlon jadi tambah bingung karena tiba-tiba ditembak seorang cewek. Sedangkan dia sendiri baru saja ditolak oleh Nad tadi ketika dia menyatakan perasaannya.
”Maaf” Hanya itu yang keluar dari mulut Arlon. Tira menghela nafas. Kemudian dia menjulurkan tangannya. Ragu Arlon menyambutnya.
”Makasih udah mau meluangkan waktu untuk mendengarkan perasaan yang udah lama ku pendam ini. Sekarang aku merasa lega” Tira melepaskan genggamann tangan itu dan tersenyum getir. Kemudian dia berbalik dan segera berlalu. Arlon hanya mematung. Tira mempercepat langkahnya. Dia tidak ingin mengatakan kata-kata seperti ’kita masih bisa berteman lagi, kan?’ atau ’kamu nggak benci aku, kan?’. Karena sebenarnya Tira tidak tahu apakah dia akan bisa berbuat hal seperti itu nantinya.
***